SENJA YANG RENTA
Senja telah menyapa. Suasana kota yang begitu besar masih tetap
saja riuh. Aku yang sedang duduk di taman penuh bunga bewarna-warni menikmati
pemandangan. Tampak pengemis renta menadahkan tangan seperti meminta sekeping
atau selembar uang untuk keberlangsungan hidupnya. Tepat di depanku beliau
berdiri dengan pakaian lusuh dan rombeng sambil memegang sebuah gelas plastik
bening bungkus air mineral. Aku mulai
meronggoh kocek saku, dan mengeluarkan uang yang aku rasa itu cukup untuk
membeli makan malamnya hari ini. Tak sengaja aku menatap wajah pengemis renta
itu tersenyum tapi tampak kaku.
“Ini, Buk. Semoga bermanfaat untuk ibuk dan keluaga ibuk.”, kataku
dengan nada pelan.
Tetapi, pengemis renta itu masih tetap tersenyum sambil
membungkukan badannya seperti mengucapkan "Terimakasih" tetapi dalam bahasa tubuh
dan ia mulai pergi menjauhiku. Terus aku memandangi pengemis renta itu dengan
seksama.
Aku mulai melihat jam yang ada di tangan kananku. Waktu telah
menunjukan pukul 19.00 WIB. Lalu aku bergegas pergi meninggalkan bangku taman,
karena aku mesti menonton sebuah pertunjukan seni di sebuah gedung megah.
Selesai aku menyaksikan pementasan seni, aku melihat suasana di
luar gedung yang mulai tampak sepi. Aku menuju ke pinggiran jalan raya, aku melambai
tangan pada sebuah mobil taksi dan menaiki taksi itu. Di dalam mobil taksi aku
melihat-lihat keadaan kota ketika malam tiba. Tak sengaja pandanganku melihat
pengemis renta yang sebelumnya aku lihat tadi duduk dengan lesu di tepi halte
bus yang begitu kumuh. Lalu aku menyuruh supir untuk menghentikan mobilnya dan
aku turun dari mobil. Bergegas aku pergi ke pengemis renta tadi dan aku melihat
ia tampak menangis tersedu-sedu.
“Ibuk, kenapa menangis?”, tanyaku dengan rasa iba.
“Anak ibuk nak...tidak ada disini. Padahal dia belum makan nak.”,
jawab ibuk renta yang masih menangis dan merangkul makanan untuk anaknya.
“Loh, anak ibuk memangnya kemana? Kenapa tidak bersama ibuk tadi?”,
kembali aku bertanya.
Tetapi ibuk pengemis renta ini tidak menjawab. Ia menatapku begitu
dalam. Tangannya yang reot itu memegang wajahku, lalu ia berdiri dan pergi
meninggalkanku.
“Ibuk, mau kemana?”, kembali aku bertanya yang masih terasa
gantung.
Aku kembali masuk dalam
taksi dan pergi melanjutkan perjalananku yang sempat terhenti tadi.
Keesokan harinya aku juga kembali mengunjungi taman kota. Memang
aku suka mengunjungi taman kota setiap kali aku selesai menjalani aktifitas. Di
taman kota inilah aku selalu melepas beban dan pikiran. Tampak seperti biasa,
kota masih tetap terlihat riuh dan matahari telah bersembunyi di ufuk barat. Sesekali
aku menikmati pemandangan sebuah taman yang dekat dengan laut. Angin sesekali
menyapa kulitku dan bermain indah dengan daun-daun yang bergesekan. Ibuk
pengemis renta itu kembali datang dan lewat depanku, tetapi kali ini ia tidak
menadahkan tangan. Hanya lewat begitu saja. Aku mencoba memanggil ibuk pengemis
renta itu.
“Ibuk...”, kataku sambil menghampirinya.
“Ya nak...ada apa?”, jawabnya dengan nada rendah.
“Lupa ya sama saya yang semalam?”, tanyaku lagi.
“Siapa ya? Ibuk lupa nak.”, kata ibuk renta.
“Loh, saya yang menghampiri ibuk semalam di halte?”
Ibuk pengemis renta itu hanya terdiam dan tak lama ia menangis
tersedu. Aku merasa heran dan sedikit merasa bersalah, apa ibuk ini ada masalah
atau bagaimana.
“Loh, kenapa menangis, Buk? Ada masalah apa, Buk?”, tanyaku dengan
penuh tanda tanya.
Ibuk itu masih tetap menangis. Lalu ia berdiri dengan kaki yang
bergemetar dan ia meninggalkanku sama seperti yang ia buat kemarin. Kini aku
diserang beribu penasaran, kenapa ibuk pengemis renta ini selalu menangis jika
melihatku. Aku pun pergi melanjutkan aktivitasku.
Aktivitasku telah selesai. Aku kembali ke taman kota untuk
menikmati suasana malam. Tetapi, dari kejauhan orang-orang berlari menuju
persimpangan dan tampak juga sebuah mobil ambulance. Akupun bergegas menuju ke
tempat keramaian itu.
“Maaf, kak ada kejadian apa, ya?”, tanyaku penuh kebingungan.
“Ada orang ketabrak mobil. Saat warga
beramai-ramai datang, yang menabrak tadi pergi. Tabrak lari.”, jawab seorang perempuan sambil menutup mulut.
Aku penuh kebingungan siapa orangtua itu. Lalu aku masuk
disela-sela kerumunan. Sungguh aku tak sanggup menahan derai air mata ini, dan
aku pun terhenyak sambil memeluk erat si ibuk pengemis renta. Anak ibuk
pengemis renta yang hilang beberapa hari itu, kini ditemukan terbujur kaku
bermandikan darah tepat di depan ibuk yang melepas tangis kesedihannya. Anak yang meninggal sambil memeluk foto ibuk pengemis .
Pekanbaru, 2017