Wednesday, August 29, 2018

SENJA YANG RENTA


SENJA YANG RENTA



Senja telah menyapa. Suasana kota yang begitu besar masih tetap saja riuh. Aku yang sedang duduk di taman penuh bunga bewarna-warni menikmati pemandangan. Tampak pengemis renta menadahkan tangan seperti meminta sekeping atau selembar uang untuk keberlangsungan hidupnya. Tepat di depanku beliau berdiri dengan pakaian lusuh dan rombeng sambil memegang sebuah gelas plastik bening  bungkus air mineral. Aku mulai meronggoh kocek saku, dan mengeluarkan uang yang aku rasa itu cukup untuk membeli makan malamnya hari ini. Tak sengaja aku menatap wajah pengemis renta itu tersenyum tapi tampak kaku.

“Ini, Buk. Semoga bermanfaat untuk ibuk dan keluaga ibuk.”, kataku dengan nada pelan.

Tetapi, pengemis renta itu masih tetap tersenyum sambil membungkukan badannya seperti mengucapkan "Terimakasih" tetapi dalam bahasa tubuh dan ia mulai pergi menjauhiku. Terus aku memandangi pengemis renta itu dengan seksama.

Aku mulai melihat jam yang ada di tangan kananku. Waktu telah menunjukan pukul 19.00 WIB. Lalu aku bergegas pergi meninggalkan bangku taman, karena aku mesti menonton sebuah pertunjukan seni di sebuah gedung megah.

Selesai aku menyaksikan pementasan seni, aku melihat suasana di luar gedung yang mulai tampak sepi. Aku menuju ke pinggiran jalan raya, aku melambai tangan pada sebuah mobil taksi dan menaiki taksi itu. Di dalam mobil taksi aku melihat-lihat keadaan kota ketika malam tiba. Tak sengaja pandanganku melihat pengemis renta yang sebelumnya aku lihat tadi duduk dengan lesu di tepi halte bus yang begitu kumuh. Lalu aku menyuruh supir untuk menghentikan mobilnya dan aku turun dari mobil. Bergegas aku pergi ke pengemis renta tadi dan aku melihat ia tampak menangis tersedu-sedu.

“Ibuk, kenapa menangis?”, tanyaku dengan rasa iba.

“Anak ibuk nak...tidak ada disini. Padahal dia belum makan nak.”, jawab ibuk renta yang masih menangis dan merangkul makanan untuk anaknya.

“Loh, anak ibuk memangnya kemana? Kenapa tidak bersama ibuk tadi?”, kembali aku bertanya.

Tetapi ibuk pengemis renta ini tidak menjawab. Ia menatapku begitu dalam. Tangannya yang reot itu memegang wajahku, lalu ia berdiri dan pergi meninggalkanku.

“Ibuk, mau kemana?”, kembali aku bertanya yang masih terasa gantung.

 Aku kembali masuk dalam taksi dan pergi melanjutkan perjalananku yang sempat terhenti tadi.

Keesokan harinya aku juga kembali mengunjungi taman kota. Memang aku suka mengunjungi taman kota setiap kali aku selesai menjalani aktifitas. Di taman kota inilah aku selalu melepas beban dan pikiran. Tampak seperti biasa, kota masih tetap terlihat riuh dan matahari telah bersembunyi di ufuk barat. Sesekali aku menikmati pemandangan sebuah taman yang dekat dengan laut. Angin sesekali menyapa kulitku dan bermain indah dengan daun-daun yang bergesekan. Ibuk pengemis renta itu kembali datang dan lewat depanku, tetapi kali ini ia tidak menadahkan tangan. Hanya lewat begitu saja. Aku mencoba memanggil ibuk pengemis renta itu.

“Ibuk...”, kataku sambil menghampirinya.

“Ya nak...ada apa?”, jawabnya dengan nada rendah.

“Lupa ya sama saya yang semalam?”, tanyaku lagi.

“Siapa ya? Ibuk lupa nak.”, kata ibuk renta.

“Loh, saya yang menghampiri ibuk semalam di halte?”

Ibuk pengemis renta itu hanya terdiam dan tak lama ia menangis tersedu. Aku merasa heran dan sedikit merasa bersalah, apa ibuk ini ada masalah atau bagaimana.

“Loh, kenapa menangis, Buk? Ada masalah apa, Buk?”, tanyaku dengan penuh tanda tanya.

Ibuk itu masih tetap menangis. Lalu ia berdiri dengan kaki yang bergemetar dan ia meninggalkanku sama seperti yang ia buat kemarin. Kini aku diserang beribu penasaran, kenapa ibuk pengemis renta ini selalu menangis jika melihatku. Aku pun pergi melanjutkan aktivitasku.

Aktivitasku telah selesai. Aku kembali ke taman kota untuk menikmati suasana malam. Tetapi, dari kejauhan orang-orang berlari menuju persimpangan dan tampak juga sebuah mobil ambulance. Akupun bergegas menuju ke tempat keramaian itu.

“Maaf, kak ada kejadian apa, ya?”, tanyaku penuh kebingungan.
“Ada orang ketabrak mobil. Saat warga beramai-ramai datang, yang menabrak tadi pergi. Tabrak lari.”, jawab seorang perempuan sambil menutup mulut.

Aku penuh kebingungan siapa orangtua itu. Lalu aku masuk disela-sela kerumunan. Sungguh aku tak sanggup menahan derai air mata ini, dan aku pun terhenyak sambil memeluk erat si ibuk pengemis renta. Anak ibuk pengemis renta yang hilang beberapa hari itu, kini ditemukan terbujur kaku bermandikan darah tepat di depan ibuk yang melepas tangis kesedihannya. Anak yang meninggal sambil memeluk foto ibuk pengemis .

Pekanbaru, 2017

Friday, February 2, 2018

SECUIL TENTANG MENDU


Teater Mendu merupakan teater tradisi/ teater bangsawan bernuansa kerakyatan. B.M. SYAMSUDIN (1987), mengatakan bahwa mendu yang berkembang di daerah Buguran berasal dari Wayang Parsi yang berkembang di Pulau Penang sekitar tahun 1780-1880. Dahulu mendu hanya dimainkan oleh kaum laki-laki, namun sekarang mulai tahun 70-an, tidak hanya milik laki-laki semata tetapi perempuan juga ikut ambil bagian dalam pementasan mendu. Kesenian mendu menyebar diberbagai tempat yaitu Bunguran Timur (ranai dan sepempang), Siantan (terempa dan langi), dan Mindai serta Tanjung Pinang.
Kesenian tradisional dulunya merupakan bagian dari adat istiadat atau ritual kepercayaan yang sakral. Akan tetapi, pada perkembangannya,  unsur seni dan hiburannya semakin menonjol, sementara unsur sakralnya semakin berkurang bahkan dihilangkan. Begitu pula teater mendu. Dahulu, teater ini dimulai dengan ritual-ritual tertentu yang tujuannya memanggil roh-roh untuk hadir dan menjaga selama pertunjukan berlangsung.


Keunikan cerita teater mendu ini adalah cerita yang dilakonkan/dimainkan tanpa menggunakan naskah. Dialog yang digunakan merupakan tarian dan nyanyian. Adapun lagu-lagu dinyanyikan antara lain: Air Mawar, Jalan Kunon, IlangWayat, Perang, Beremas, Ayuhai, Tale Satu, Pucok Labu, Sengkawang, Nasib, Numu Satu Serawak, Setanggi, Burung Putih, Wakang Pecah, Mas Merah, Indar Tarik Lembu, Numu Satu, Lemak Lamun, Lakau, dan Catuk. Sedangkan tarian-tariannya adalah: Air Mawar, Lemak Lamun, Lakau, Ladun, Jalan Runon, dan Baremas.
Teater tradisi Mendu bisa digolongkan sebagai teater bangsawan yang merupakan prototype teater tradisional yang umumnya terdapat di Sumatera dengan latar belakang pendukung dominan; rumpun budaya Melayu. Kesenian tradisional ini dikenal menjelang awal abad ke- XX. Pengaruh teater bangsawan banyak ikut campur dalam urusan ini seperti menggunakan panggung secara lengkap dengan layar sebagai dekorasi. Karena jamaknya, hingga terasa banyak kesamaan antara Mendu dan Wayang Bangsawan. Sepanjang hayatnya adaptasi bangsawan mendapat ciri-ciri khasnya sendiri. Ia mulai menyerap unsur-unsur setempat misalnya nama-nama tempat dan istilah-istilah lokal dan kebiasan-kebiasaan yang lazim dalam Wayang Bangsawan.
Dari penelitian dan literatur dapat dihimpun sebuah penjelasan bahwa sumber utama yang menjadi dasar lakon Mendu ini adalah cerita  hikayat tentang Jewa, jin dan putri-putri seperti disadur lakon Komidi Stambul dari hikayat 1001 malam epos atau cerita lama dan unsur cerita rakyat lokal. Kadangkala dicampur juga dengan keadaan kehidupan masyarakat setempat. Sementara musik adalah bagian integral dari pertunjukan ini, dimana naskah dan alur cerita dikisahkan oleh oleh Mahnijar (sutradara) secara lisan kepada para pelaku. Pementasan ini dilakukan di atas panggung dengan dekorasi yang sangat sederhana yaitu lukisan di atas kain atau triplek yang menggambarkan hutan, istana dan sebagainya selaras dengan seting cerita yang dibawakan.
Cerita yang dimainkan dalam teater mendu adalah Hikayat Dewa Mendu. Konon, pementasan teater mendu ini dipentaskan selama tujuh hati tujuh malam berturut-turut. Tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman tidak lagi mementaskan teater mendu selama itu, melainkan mengambil fragmen perbabak dari naskah tersebut.
Cerita itu terbagi dalam tujuh episode. Ketujuh episode tersebut sebagai berikut:
1.    Episode pertama, menceritakan kehidupan di kayangan dan turunnya Dewa   Mendu dan Angkara Dewa ke dunia yang fana
2.    Episode kedua, menceritakan berpisahnya Dewa Mendu dengan Siti Mahdewi akibat perbuatan jin jahat yang diutus oleh Raja Laksemalik
3.    Episode ketiga, menceritakan perjalanan Siti Mahdewi, kelahiran anaknya yang kemudian diberi nama Kilan Cahaya, dan perjumpaannya dengan Nenek Kabayan
4.    Episode keempat, mengisahkan tentang perjalanan Dewa Mendu  yang kemudian sampai di sebuah kerajaan yang rajanya bernama Bahailani
5.    Episode kelima, menceritakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya bernama Majusi.
6.    Episode keenam, menceritakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya bernama Firmansyah
7.    Episode ketujuh, mengisahkan bagaimana Dewa Mendu bertemu dengan Kilan Cahaya yang diawali dengan perkelahian antar keduanya. Cerita Dewa Mendu ini dapat dimainkan dalam beberapa versi, namun inti ceritanya tetap sama.

Tokoh-tokoh dalam seni pertunjukan Mendu, di samping Dewa Mendu adalah: Angkara Dewa, Siti Mahdewi, Maharaja Laksemalik, Kilan Cahaya, Nenek Kebayan, Raja Bahailani, Raja Majusi, Raja Firmansyah, Raja Beruk, dan tokoh-tokoh pendukung lainnya yang jenaka seperti Tuk Mugok dan Selamat Salabe. Kedua tokoh ini seperti tokoh Punakawan dalam pewayangan yaitu sebagai humoris dalam cerita Mendu. Oleh karena itu, mereka menjadi bagian yang penting dan sangat disenangi oleh penonton.
Pertunjukan dibuka dengan ladun yaitu tarian pembuka. Para pemain keluar berpasang-pasangan dan berperan sebagai rakyat jelata serta wakil rakyat, mereka menari sambil berpantun. Selesai berladun, beduk ditabuh dan para pemain mengambil posisinya masing-masing. Tontonan rakyat ditutup dengan Beremas yang artinya berkemas-kemas untuk pulang. Yang unik pada bagian Beremas ini adalah lagunya dikemas menyentuh perasaan, tidak ada penonton yang bercucuran air mata mendengarnya.
Untuk pementasan pemainnya berjumlah minimal 25 tetapi lebih baiknya 35 orang karena dengan itu pembagian tugas sama. Panggung yang digunakan untuk pementasan adalah berukuran 4x14 meter yang terdiri atas tiga bagian yaitu ruang rias, balai penghadapan, dan area berlandun. Pementasan mendu ini mempunyai urutan yaitu urutan pertama pertunjukan diawali dengan pengantar yakni pemberitahuan bahwa mendu akan dipentaskan dengan memukul alat perkusi. Kedua madah yang dilakukan oleh Syekh. Ketiga berlandun yaitu semua pelakon menari dan bernyanyi bersama membentuk lingkaran, lalu berpasangan dan berpantun yang berisi ucapan selamat datang serta permohonan maaf jika nanti pementasan kurang memuaskan. Keempat para pelakon menyanyikan lagu wayat. Kelima adegan pertama menggambarkan suasana kerajaan. Keenam pementasan Mendu, dan Ketujuh penutupan atau beremas.


Pementasan Teater Mendu pernah dipentaskan dan digarap oleh sanggar Teater Matan di Pekanbaru. Monda Gianes selaku sutradara (Mahnijar) dalam garapan mendu memodifikasi cerita mendu yang sudah ada menjadi sebuah bentuk baru sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini serta tidak menghilangkan esensi-esensi penting dalam cerita mendu. Hanya saja para pelakon dituntut melakukan sebuah improvisasi agar jalan cerita tersampaikan sesuai dengan plot yang telah diarahkan oleh sang sutradara (Mahnijar). Itu yang membedakan teater tradisional dan teater modern. Pada teater modern, aktor terikat pada naskah untuk setiap pementasan. Sementara pada teater tradisional, naskah hanya menjadi rambu untuk aktor. Selain naskah, faktor penonton juga menjadi pembeda teater tradisional dengan teater modern. Pada teater tradisional, termasuk mendu, penonton menjadi bagian dari pementasan. Penonton dapat berinteraksi dengan aktor yang berada di panggung.  Sedangkan pada teater modern, penonton bukan bagian pementasan. Jadi, ada batas yang tegas antara penonton dan aktor pada teater modern.
Semoga kehadiran Teater Mendu digenerasi zaman sekarang akan menjadi sebuah pertunjukan yang menarik minat masyarakat khususnya di Pekanbaru, Riau. Karena kalau tidak pada generasi sekarang sebagai penerus teater tradisi yang ada di daerah kita masing-masing, siapa lagi yang akan mempertahankannya. Sekian ulasan yang masih banyak kekurangan ini dan penulis berharap semoga para pembaca dapat memberikan masukan dan kritik saran yang membangun.


SUMBER:






Wednesday, January 3, 2018

SI BAYANG BAYANG

Wanita bayang mendekat
Merayap pada dinding semu
Menyamar indah tak diketahui
Ia telah menggoda ku
Terbuai dalam rona wajah
Terlamun pada hati lembut
Bagai kapas akrab bersama angin
Bayang
Bayang
Bayang
Menggeliat disekujur tubuh ini
Telah bernafsu hati
Ingin menjamah si bayang
Aduhai, itu bukan si bayang bayang
Tersebab mata buta
Ialah fatamorgana
Yang berpadu kasih dengan imajinasi
Melekat-lekat di tubuh mungil
Oh mata kau kau kau
Si bayang bayang
Menuntun diri dalam buaian kasih sayang
Aku terhenyak; tak berpapah
Segelintir mata berpandang padah
Si mungil hilang bayang
Tersebab pandang-pandang sebelah mata
Puah!!! Kacaulah ia....

Tuesday, January 2, 2018

SABAR BERTEMAN IKHLAS

Siapa yang menyangka hidup ini akan berjalan mulus. Manusia yang memiliki jiwa kuat akan terus bertahan walau ianya diterjang ombak yang begitu ganasnya. Tapi, bagi manusia yang tidak berjiwa kuat ianya akan berputus asa dan mencari jalan pendek hingga mengakhiri hidup. Di dunia tidak ada yang sempurna, karena kesempurnaan itu milik Allah semata. Kita hidup di dunia ini bagaikan butiran debu. Manusia yang hidup di dunia ada yang normal dan ada serba kekurangan.

Bagi anda pembaca, mungkin manusia yang normal pada dirinya merasa syukur dengan apa yang ada pada dirinya. Tetapi, sebaliknya manusia yang punya keterbatasan apa ia akan langsung bersyukur begitu saja? Tidak. Ia pasti memulai suatu kehidupan penuh cercaan, hinaan, serta dipandang sebelah mata. Setiap insan yang hidup di dunia ini pastilah memiliki rasa cinta terhadap sesama.
(Gambar Ilustrasi)

Apakah tiap manusia mampu bersabar? Ya, pasti bisa. Tetapi, kesabaran juga memiliki batasan. Apakah keikhlasan bertautan dengan kesabaran? Ya, tapi “segelintir”. Mungkin kesabaran bisa mereka lakukan, tapi ikhlas menyangkut pada iman. Banyak orang bertanya:

          “Bagaimanakah cara membuat hati ikhlas dalam menjalani hidup?”

Ikhlas yaitu membicarakan tingkat keimanan. Bagi penulis, ikhlas merupakan hal begitu sulit untuk dikuasai. Ikhlas adalah kondisi dimana hati bersedia menerima keadaan dengan penuh ketulusan dan tak menuntut sesuatu yang tak mungkin bisa dimiliki. Karena ikhlas juga merupakan kunci untuk menguasai hati. Tak jarang kita menemukan seseorang kehilangan sesuatu dalam hidupnya sehingga dia merasa begitu sulit untuk mencoba menerima kenyataan, karena begitu sulit untuk merelakan hal-hal yang telah pergi/hilang dalam hidupnya sehingga kadang membuat hati menjadi keras. Mengapa? karena dia tak berusaha mengikhlaskan apa yang telah pergi dalam hidupnya sehingga kehidupan yang ia jalani itu terasa begitu sulit dan berat.

Mungkin, keikhlasan dan kesabaran sangat perlu dilatih pada diri kita masing-masing. Agar bisa menjadi manusia yang ikhlas maka jangan menilai sesuatu hanya pada bagian luarnya, namun maknailah apa sebenarnya yang menjadi hikmah dari hal-hal tesebut. Belajarlah makna keikhlasan dari orang yang dalam kehidupan ini ditimpa berbagai kesulitan dan kekurangan namun mereka tetap bisa tersenyum dalam menjalani hidup.

Karena ikhlas tidaklah sebuah kata yang diucap keluar dari lisan melainkan suatu keadaan yang diyakini pada hati. Andaikan kita tahu, “Kenapa Allah menimpakan sesuatu beban kepada kita?”, karena Allah telah merahasiakan kepada kita segala takdir dan ketetapan yang nantinya akan menimpa hambanya hanya untuk mengetahui salah satu hal yaitu:

          “Untuk melihat siapa yang paling baik perbuatannya.”



Ruang Sunyi, 2018 (Awal)

Saturday, December 30, 2017

KESENIAN MASUK KAMPUNG

Suatu ketika, Manan sedang duduk di sebuah pendopo kecil di bawah pohon jambu, tepat di depan rumahnya. Ia tampak sibuk membaca buku. Banyak buku beserak di sekitar tempat dia duduk. Beragam-ragam buku ia baca. Tampak dari jauh, Tomok datang sambil menggandeng sebuah buku. Manan memanggil Tomok sambil mengode minum kopi. Tomok kalau dah diajak ngopi, tak akan pernah menolak siapa pun orang yang mengajaknya. Setiba Tomok di pendopo kecil Manan, Tomok duduk bersila, tanpa basa-basi ia membuka gelas yang telungkup dan mencurahkan kopi ke dalam gelas. Manan menggelengkan kepala dan berkata:

“Ewah, dikau Mok belum aku mempersilahkan dikau minum, dah main hembat ye.”

Tomok tidak menghiraukan, dan die tetap menghirup bau kopi yang telah ia curahkan ke gelas tadi. Sambil memejamkan mata, Tomok mulai berekpresi lagaknya mau baca puisi. Manan terkejut, tetiba Tomok berkelakuan aneh. Tak macam biasanya.

“Aih, Mok. Dikau ngape, tesampok Jin mane?”

“Pekat....Hitam....Bercita rasa semerbak bau...”, kata Tomok sambil berekpresi dengan kaki naik di atas kayu sandaran pendopo.

“Mok, dikau kenape ni? Mampus aku, apelah yang Minah masukan dalam kopi ni. Tapi, aku minum kopi ni tak macam Tomok pulak. Tesampok Jin manelah die ni. Mok, sado...sado”, kata Manan tampak cemas.

Tomok menatap tajam Manan dan ia tampak diam. Tatapan Tomok semakin memekat tajam yang membuat Manan ketakutan dan mulai merangkak menjauh dari Tomok. Tapi, Tomok melarang Manan untuk pergi.

“Diam membatu. Hei, mambang angin...mambang Tanah....mambang dari segala penjuru, mantra segala mantra membuncah lantang...”

Manan mulai khawatir dan begitu takut hingga tampak gemetar. Keringat dingin mulai timbul di badan Manan. Sarip yang lewat depan rumah Manan terkejut mendengar teriakan dari Tomok. Dengan gesit Sarip sembunyi disebalik pohon, dan melihat aksi Tomok bertingkah laku aneh.

“Hah? Tomok tu? Apo macam dio buat kelaku tu?”, kata Sarip sambil menepuk jidatnya.
Sarip pun berteriak memanggil warga.

“Woi, mike mike kesini. Tomok dimasuki Jin ip’ret”.

“Astagfirullah, kenape Tomok tu macam begitu kelaku”, kata seseorang warga.

Manan pun terkejut melihat warga-warga dah berkumpul depan rumah dia.

“Woi, mike ngape beramai-ramai ni?”, tanya Manan dengan suara parau.

“Seharusnye aku yang nak tanye, budak Tomok tu ngape pekik telolong macam tu. Masuk jin ke?”, tanya Sarip.

“Aku tak tahu de, saat minum kopi die langsung macam ni. Tapi, aku minum kopi ni tak macam ni pulak”, jawab Manan.

Tomok mulai tampak mengeksplor badannya seperti butoh (gerakan tubuh ala Jepang).

“Ihhh, die kene santau.”, kata salah seorang warga.

“Yang betul cakap tu, manelak ade di kampung kito ni hal macam tu. Betul tu Manan, die tu kene santau?”, tanya Sarip dengan nada sedikit meninggi.

Tomok pun tak mau kalah, diapun ikut bernada tinggi dan berteriak.

“Aih budak ni kang, aku nada tinggi die pun tak kalah saing. Mok, dikau kenape ni? Macam tu pulak kelaku?”, tanya Sarip sambil mengambil sebatang kayu lapuk.

Tiba-tiba, Tomok menatap Sarip dan warga. Perlahan ia menatap tajam dan berjalan pelan mendekati Sarip. Warga lain pun lari terbirit-birit. Sarip tampak diam dan memegang kayu lapuk dengan kuat, hingga patah.

“Lantang bukan mencecah....batu menjadi mantra”, kata Tomok sambil bergerak butoh.

“Mampus aku, tak dapat cakap lagi. Mengapelah aku betiak-tiak tadi, kan dah jadi gini”, kata Sarip yang bercucuran keringat.

Tampak dari jauh, Jang membawa beberapa proposal.

“Mok, moh kopi. Penat aku nyari dikau dah”, teriak Jang dari Jauh.

Tomok pun terkejut, dan melirik Jang dengan cepat dan menjawab:

“Yop, kejap aku ambik kasut dulu. Kejap lagi aku kesano. Hmm alah, apo kesah Jang ni lamo aku nunggu dikau. ”, sambil besungut menuju pendopo Manan.

Manan pun terdiam, dan bertanya pada Tomok:

“Mok, dikau dah sado?”

“Sado? Aih, memang aku kenapo?”, tanya Tomok kembali.

“Dikau tejerit-jerit macam tesampok jin tu kenape?”, tanya Manan sambil perlahan mendekati Tomok.

“Oh, aku sedang besajak dan cubo berteater selepok. Apolah kesah dikau ni, Nan. Suai dikau ni selalu kusut tak nentu, banyak betul dikau baco buku tu jadi tak tahu aku bersajak dan teater tadi tu?”, tanya Tomok sambil memasang kasut.

“Ta..tadi tu dikau besajak? Plus teater?,” tanya Manan heran.

“Laillahailallah....tak tahu dikau selamo ni?”, tanya Tomok.

Tomok pun terkejut melihat Sarip.

“Astagfirullah, WAK SARIP! Ape dikau buat tu?,” tanya Tomok sambil melotot.
Sarip pun tersadar, dan bertanya:

“Mok, sado dikau dah. Aku kenape, Mok?”, tanya Sarip dengan penuh keheranan.

“TUTUP BARANG DIKAU TU, RIP. MALU Rip, MALUUU. Dikau tu dah tuo.”, kata Tomok sambil menunjuk sarung Sarip.

“Astagfirullah. Suailah warga lari tadi, rupenye barang aku tededah. Ni dikau punye pasal, Mok. Memacam kelaku pulak dikau perbuat tadi”, sungut Sarip sambil menutup yang terdedah bebas dan ia pergi meninggalkan Manan serta Tomok.

“Hahahahaha......Wak Sarip tu dah tuo tambah pulak dikau bekelaku macam-macam tadi. Hmmm alah, Mok Tomok”, kata Manan sambil mencurah kopi.

“Buku ni dikau bace. Ekonomi Kreatif Ala Atah Roy. Banyak inspirasi yang aku dapat dari buku ni. Macam dikau ni WAJIB membace ini. Sebab, banyak ulasannye tentang Kesenian, Penyair, Seniman, Teater, pokoknye semuenye ade dibuku ni. Dikau kan suke dengan hal berbau keingin tahuan berilmu. Ha, dikau bantu dan beri lahan berekpresi pada penukang kesenian ni. Dikau buatlah, program kesenian di kampung kite ni. Sebab, kalau tak kite yang menghargai para seniman siape lagi. hidup itu seni, Nan. Ingat! Dah, aku nak ke tempat Jang. Kami nak mengajukan bantuan proposal kesenian untuk kampung kite ni”, kata Tomok sambil meminum kopi.

“Waw, emejing ni buku Mok. Pinjamlah aku kejap", kata Manan penuh semangat.

"Pinjam? Hah, sedap cakap. Dikau belilah samo Atah Roy kampung sebelah tu. Tigo puluh Ribu rupiahnyo. Ulasan Atah Roy ni menarik, Nan", kata Tomok meyakinkan Manan.

"Okelah, kang aku beli dan aku lagi berusaha ni semampu aku untuk memajukan kesenian di kampung kite ni. Malam ni aku buat programnye dan aku ajukan besok tempat kejo aku. Kalau bukan kite, siape lagi. Ye tak?”, kata Manan.

Tomok pun pergi dan Manan merapikan buku-bukunya dan pergi untuk membeli buku "Ekonomi Kreatif Ala Atah Roy".

* * *




Judul                   : Ekonomi Kreatif Ala Atah Roy

Penerbit              : Yayasan Pusaka Riau

Desain Sampul   : Katon/ Hang Kafrawi

Harga                  : Rp 30.000,- (belum include pengiriman)


Pemesanan bisa melalui Gmail penulis maupun kontak person dibawah ini:

0822 8308 8441 (Bisa melalui WA)

Friday, December 29, 2017

ETIKA BERPAKAIAN MELAYU

Dr. ( H.C.) H. TENAS EFFENDY memperkenalkan tentang Etika Berpakaian Melayu haruslah mencerminkan sikap dan perilaku terpuji, menunjukkan keperibadian yang baik, sehingga tidak merusak atau merendah martabat pakaian Melayu yang di pakainya.

Ungkapan adat Melayu mengatakan, "Adat memakai pada yang sesuai, adat duduk pada yang elok, adat berdiri tahukan diri".

Ungkapan ini mengandung makna yang dalam, intinya memberi petunjuk bahwa setiap orang dituntut untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya, berperilaku menurut alur dan patutnya. Di dalam hal berpakaian hendaklah mengacu kepada asas 'sesuai' yaitu  sesuai pakaiannya, sesuai memakainya, sesuai cara memakainya, sesuai tempat memakainya, sesuai pula menurut ketentuan adat atau yang ditegaskan lagi elok baju karena sejudu, elok pakaian karena sepadan.

Akan tetapi kita kaitkan dengan pada saat ini telah banyak kita jumpai orang Melayu tidak lagi mengikuti kaidah dan ketentuan dalam berpakaian Melayu yang bersebati dengan agama Islam, hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan modernisasi yang sangat melunjak di hadapan kita, lihatlah banyak sekali pakaian melayu yang mencolok dimata kita. seprti wanita memakai baju-baju yang ketat hingga menampakkan bentuk dan lekuk tubuhnya dimata orang banyak, tujuannya agar pria terpesona melihatnya tetapi sebenarnya ini melanggar etika dalam berpakaian Melayu. Jika hal tersebut masih terus berlanjut tanpa ada perubahan dalam adab berpakaian, ini akan mencemarkan ciri khas Melayu yang dikenal dengan sopan santun dalam tingkah laku dan adab berpakaian.

Orang tua-tua dahulu mengatakan bahwa "Adat pakaian orang Melayu, pantang mendedahkan aib malu”, atau dikatakan "Adat memakai pakaian Melayu, pantang membuka aib badan, pantang menyingkap malu diri".  Penegasan ini menunjukkan bahwa dalam memakai pakaian Melayu terutama pakaian adatnya tidaklah dapat dilakukan dengan semena-mena atau mengada-ada atau memandai-mandai, tetapi wajiblah mengacu dan mengikut nilai hakikat dalam budaya Melayu yang disebati dengan ajaran Islam.

Di dalam kehidupan masa silam, orang Melayu amatlah cermat dalam hal-ihwal berpakaian, amat teliti dalam menentukan adat istiadat tentang cara memakai pakaian dan amat menjunjung tinggi nilai agama dan budaya dalam berpakaian. Mengapa saat ini bisa terjadi perubahan dalam berpakaian? Apakah mereka merasa gengsi dengan etika berpakaian Melayu yang dulu? Sehingga mereka tidak mengikuti kaidah Melayu yang sebenarnya sudah diterapkan oleh orang tua-tua dulu yang lebih bermanfaat dan sejalan dengan peraturan agama Islam. Karena orang Melayu selalu memilih pakaian yang sesuai dengan dirinya dan kedudukannya, berusaha memakai pakaian baik dan benar, dan berusaha menjaga pantang larang dalam berpakaian, dan berusaha menunjukkan perilaku terpuji dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis: Izwanto (Iwank) mahasiswa FIB Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, jurusan Sastra Daerah.

Wednesday, December 27, 2017

NASKAH MONOLOG CERMIN karya Nano Riantiarno

PANGGUNG MULA-MULA GELAP. GELAP SEKALI. TIBA-TIBA TERDENGAR TERIAKAN KETAKUTAN SEORANG LAKI-LAKI. PANGGUNG MASIH TETAP GELAP.

SUARA :
Jangan! Jangan tinggalkan saya! Tolong! Tolong! Tolong! Nyalakan lampu, saya takut gelap! Saya takut sendirian! Tolong! Jangan tinggalkan saya! Cahaya, saya butuh cahaya! Saya butuh terang! Tolong…….cahaya…….cahaya.

DAN LAMPU WARNA PINK MENYOROT (FADE-IN) MELINGKARI AREA DIMANA DIA BERTERIAK-TERIAK DILANTAI, SAMPING SEBUAH KURSI BESI. DALAM PENJARA SEORANG LAKI-LAKI KIRA-KIRA BERUMUR 35 TAHUN KAGET KETIKA SADAR BAHWA DIA SEKARANG BERADA DALAM TERANG. DIA KECAPAIAN DAN TERENGAH-ENGAH.MENGHIMPASKAN PANTATNYA DI LANTAI. PADA SAAT YANG HAMPIR BERSAMAAN, SETELAH UJUD SELURUH LAKI-LAKI ITU TERLIHAT SAMAR-SAMAR LAMPU MENYALA MENYOROTI AREA DI DEPAN DIA. SEORANG LAKI-LAKI LAIN YANG SELURUHNYA SAMA DENGAN DIA JUGA DUDUK DI LANTAI SAMPING SEBUAH KURSI BESI YANG SAMA. LAMPU BERWARNA PINK JUGA. DUA LELAKI YANG SAMA DUDUK DI LANTAI SAMPING KURSI BESI YANG SAMA TERSEKELILING GELAP. GELAP SAKALI.
LAKI-LAKI :

He………..
(LAKI-LAKI DI DEPANNYA MENYAPANYA JUGA PERSIS TAPI TANPA SUARA)

Hee……….. Ya! Masih ada. Kukira sudah pergi bersama yang lain-lain. He, aku senang kau masih ada. Di depan situ menatapku. Temanku Cuma kamu sekarang. Di sini pengap. Keringat tak henti-hentinya menyembul dari pori-pori kulit. Aku khawatir kalau persediaan air dalam tubuhku habis, pasti bukan keringat lagi yang keluar tapi darah. Dan kalau darah sudah habis…….. sebuah pintu terbuka lebar-lebar dan aku harus mendorong diriku sendiri untuk bilang ayo masuki ruangan besar di sebaliknya. Ruangan besar dari sebuah gedung yang besar. Ada apa di dalamnya? Perabotan-perabotannya bagus? Jenis kursi-kursinya dibikin dari kayu apa? Jati tua atau mahoni? Karpetnya? Dari India atau Persia?

LAKI-LAKI :
Apa ada hiasan-hiasan dindingnya? Dari apa? Kuningan apa perunggu? Lampu gantungnya dari kristal? Kamar mandinya bersih, artinya tidak terdapat lipas di sudut-sudutnya. Dapurnya bagaimana? Selalu tersedia makanan hangat dalam lemari? Aku pedagang barang antik, harus tahu secara detail perabotan-perabotan tiap ruangan yang kumasuki. Bagaimana? Apa aku akan ditemani atau sendirian? (BERBISIK) Apa Su ada disitu……apa dia menungguku disitu? (DIAM MENUNGGU JAWABAN). Ya aku tahu kau tidak tahu. Tak seorangpun yang tahu sebelumnya. Masuki gedung itu dulu, baru kau akan bisa bercerita ada apa di dalamnya. Tapi siapa saja yang masuk ruangan besar itu, tak akan pernah kembali lagi. Pans, Cuma keluhan, jangan khawatir seorang kawan bisa menyejukkan suasana. Ada seorang di sekitar kita lebih baik daripada sama sekali tidak ada. Pada dasarnya semua orang takut sendirian. Aku juga. Kau juga. Benarkan. Kita ngobrol-ngobrol, untuk mengisi waktu. Obrolan yang intim bisa menambah rasa kekawanan. Tidak usah dijawab. Aku yakin pasti kau mau. Ya, kita akan ngobrol-ngobrol. Aku dapat pertama, kamu yang kedua. Akan kubeberkan semuanya tanpa malu-malu. Tapi musti janji, begitu aku selesai kau segera menyambungnya. Dengan begitu tak akan terasa lagi waktu lewat. Pagi-pagi sekali kita akan berpelukan mengucapkan salam perpisahan, barangkali sambil tertawa-tawa atau barangkali kita akan saling menangisi. Entahlah! Jangan menjawab, aku tahu kau sama seperti aku, termasuk orang-orang yang selalu berusaha untuk menepati janji. Dengan adanya kau di situ, meskipun kau tidak menyapa apa-apa bisa kupastikan kita akan selalu bersama-sama, setia sampai mati.

(BERPIKIR HENDAK MEMULAINYA DARIMANA). 


Silahkan Klik

SENJA YANG RENTA

SENJA YANG RENTA Senja telah menyapa. Suasana kota yang begitu besar masih tetap saja riuh. Aku yang sedang duduk di taman penuh...